Read more: http://epg-studio.blogspot.com/2011/04/jquery-slide-show-4.html#ixzz1UVTlbiVj

Image by FlamingText.com

Arsip Blog

DAFTAR ISI

Random Picks

Masukkan script iklan disini

Ads by Smowtion

CO.CC:Free Domain

Sample Links

Sample Text

Kamis, 03 Februari 2011

Hakekat Tuhan Menurut Orang Jawa

Tuhan adalah “Sangkan Paraning Dumadi“. IA adalah sang Sangkan
sekaligus sang Paran, karena itu juga disebut Sang Hyang Sangkan
Paran. Ia hanya satu, tanpa kembaran, dalam bahasa Jawa dikatakan
Pangeran iku mung sajuga, tan kinembari . Orang Jawa biasa
menyebut “Pangeran” artinya raja, sama dengan pengertian “Ida Ratu”
di Bali. Masyarakat tradisional sering mengartikan “Pangeran”
dengan “kirata basa”. Katanya pangeran berasal dari
kata “pangengeran”, yang artinya “tempat bernaung atau berlindung”,
yang di Bali disebut “sweca”. Sedang wujudNYA tak tergambarkan,
karena pikiran tak mampu mencapaiNYA dan kata kata tak dapat
menerangkanNYA. Didefinisikan pun tidak mungkin, sebab kata-kata
hanyalah produk pikiran hingga tak dapat digunakan untuk
menggambarkan kebenaranNYA. Karena itu orang Jawa menyebutnya “tan
kena kinaya ngapa” ( tak dapat disepertikan). Artinya sama dengan
sebutan “Acintya” dalam ajaran Hindu. Terhadap Tuhan, manusia hanya
bisa memberikan sebutan sehubungan dengan perananNYA. Karena itu
kepada NYA diberikan banyak sebutan, misalnya: Gusti Kang Karya
Jagad (Sang Pembuat Jagad), Gusti Kang Gawe Urip (Sang Pembuat
Kehidupan), Gusti Kang Murbeng Dumadi (Penentu nasib semua mahluk) ,
Gusti Kang Maha Agung (Tuhan Yang Maha Besar), dan lain-lain.Sistem
pemberian banyak nama kepada Tuhan sesuai perananNYA ini sama
seperti dalam ajaran Hindu. “Ekam Sat Viprah Bahuda Vadanti”
artinya “Tuhan itu satu tetapi para bijak menyebutNYA dengan banyak
nama”.

Hubungan Tuhan dengan Ciptaannya

Tentang hubungan Tuhan dengan ciptaanNYA, orang Jawa menyatakan
bahwa Tuhan menyatu dengan ciptaanNYA. Persatuan antara Tuhan dan
ciptaannya itu digambarkan sebagai “curiga manjing warangka,
warangka manjing curiga”, seperti keris masuk ke dalam sarungnya,
seperti sarung memasuki kerisnya. Meski ciptaannya selalu berubah
atau “menjadi” (dumadi), Tuhan tidak terpengaruh oleh perubahan yang
terjadi pada ciptaanNYA. Dalam kalimat puitis orang Jawa mengatakan:
Pangeran nganakake geni manggon ing geni nanging ora kobong dening
geni, nganakake banyu manggon ing banyu ora teles dening banyu.
Artinya, Tuhan mengadakan api, berada dalam api, namun tidak
terbakar, mencipta air bertempat di air tetapi tidak basah. Sama
dengan pengertian wyapi, wyapaka dan nirwikara dalam agama Hindu.
Oleh karena itu Tuhan pun disimbolkan sebagai bunga “teratai”
atau “sekar tunjung”, yang tidak pernah basah dan kotor meski
bertempat di air keruh. Ceritera tentang Bima bertemu
dengan “Hanoman”, kera putih lambang kesucian batin, dalam usahanya
mencari “tunjung biru” atau “teratai biru’ adalah sehubungan dengan
pencarian Tuhan. Menyatunya Tuhan dengan ciptaanNYA secara simbolis
juga dikatakan “kaya kodhok ngemuli leng, kaya kodhok kinemulan ing
leng”, seperti katak menyelimuti liangnya dan seperti katak
terselimuti liangnya. Pengertiannya sama dengan istilah immanen
sekaligus transenden dalam filsafat modern, yang dalam Bhagavad Gita
dikatakan “DIA ada padaKU dan AKU ada padaNYA”.

Dengan pengertian demikian maka jarak antara Tuhan dan ciptaannya
pun menjadi tak terukur lagi. Tentang hal ini orang Jawa
mengatakan: “adoh tanpa wangenan, cedhak tanpa senggolan”, artinya
jauh tanpa batas, dekat namun tak bersentuhan. Dari keterangan di
atas jelaslah bahwa pada hakekatnya filsafat Jawa adalah Hinduisme,
yang monotheisme pantheistis. Karena itu pengertian Brahman Atman
Aikyam, atau Tuhan dan Atman Tunggal, juga dinyatakan dengan kata-
kata “Gusti lan kawula iku tunggal”. Di sini pengertian Gusti adalah
Tuhan yang juga disebut Ingsun, sedang Kawula adalah Atman yang juga
disebut Sira, hingga kalimat “Tat Twam Asi” pun secara tepat
dijawakan dengan kata kata “Sira Iku Ingsun” atau “Engkau adalah
Aku”, yang artinya sama dengan kata-kata “Atman itu Brahman”.
Pemahaman yang demikian itu tentunya memungkinkan terjadinya salah
tafsir, karena menganggap manusia itu sama dengan Tuhan. Untuk
menghindari pendapat yang demikian, orang Jawa dengan bijak menepis
dengan kata-kata “ya ngono ning ora ngono”, yang artinya “ya begitu
tetapi tidak seperti itu”. Mungkin sikap demikian inilah yang
menyebabkan sesekali muncul anggapan bahwa pada dasarnya orang Jawa
penganut pantheisme yang polytheistis, sebab pengertian keberadaan
Tuhan yang menyatu dengan ciptaannya ditafsirkan sebagai Tuhan
berada di apa saja dan siapa saja, hingga apa saja dan siapa saja
bisa diTuhankan. Anggapan demikian tentulah salah, sebab Brahman
bukan Atman dan Gusti bukan Kawula walau keberadaan keduanya selalu
menyatu. Brahman adalah sumber energi, sedang Atman cahayanya.
Kesatuan antara Krisna dan Arjuna oleh para dalang wayang sering
digambarkan seperti “api dan cahayanya”, yang dalam bahasa
Jawa “kaya geni lan urube”

Upaya mencari Tuhan

Berdasar pengertian bahwa Tuhan bersatu dengan ciptaanNYA itu, maka
orang Jawa pun tergoda untuk mencari dan membuktikan keberadaan
Tuhan. Mereka menggambarkan usaha pencariannya dengan memanfaatkan
sistim simbol untuk memudahkan pemahaman. Sebagai contoh pada sebuah
kidung dhandhanggula, digambarkan sebagai berikut: Ana pandhita
akarya wangsit, kaya kombang anggayuh tawang, susuh angin ngendi
nggone, lawan galihing kangkung, watesane langit jaladri, tapake
kuntul nglayang lan gigiring panglu, dst. Di sini jelas
bahwa “sesuatu” yang dicari itu adalah susuh angin (sarang angin),
ati banyu (hati air), galih kangkung (galih kangkung), tapak kuntul
nglayang (bekas burung terbang), gigir panglu (pinggir dari globe),
wates langit (batas cakrawala), yang merupakan sesuatu yang “tidak
tergambarkan” atau “tidak dapat disepertikan” yang dalam bahasa
Jawa ” tan kena kinaya ngapa” yang pengertiannya sama
dengan “Acintya” dalam ajaran Hindu.

Dengan pengertian “acintya” atau “sesuatu yang tak tergambarkan” itu
mereka ingin menyatakan bahwa hakekat Tuhan adalah
sebuah “kekosongan”, atau “suwung“, Kekosongan adalah sesuatu yang
ada tetapi tak tergambarkan. Semua yang dicari dalam kidung
dhandhanggula di atas adalah “kekosongan” Susuh angin itu “kosong”,
ati banyu pun “kosong”, demikian pula “tapak kuntul nglayang”
dan “batas cakrawala”. Jadi hakekat Tuhan adalah “kekosongan abadi
yang padat energi”, seperti areal hampa udara yang menyelimuti jagad
raya, yang meliputi segalanya secara immanen sekaligus transenden,
tak terbayangkan namun mempunyai energi luar biasa, hingga membuat
semua benda di angkasa berjalan sesuai kodratnya dan tidak saling
bertabrakan. Sang “kosong” atau “suwung” itu meliputi
segalanya, “suwung iku anglimputi sakalir kang ana”. Ia seperti
udara yang tanpa batas dan keberadaannya menyelimuti semua yang ada,
baik di luar maupun di dalamnya.

Karena pada diri kita ada Atman, yang tak lain adalah cahaya atau
pancaran energi Tuhan, maka hakekat Atman adalah juga “kekosongan
yang padat energi itu”. Dengan demikian apabila dalam diri kita
hanya ada Atman, tanpa ada muatan yang lain, misalnya nafsu dan
keinginan, maka “energi Atman” itu akan berhubungan atau menyatu
dengan sang “sumber energi”. Untuk itu yang diperlukan dalam usaha
pencarian adalah mempelajari proses “penyatuan” antara Atman dengan
Brahman itu. Logikanya, apabila hakekat Tuhan adalah “kekosongan”
maka untuk menyatukan diri, maka diri kita pun harus “kosong”, Sebab
hanya “yang kosonglah yang dapat menyatu dengan sang maha kosong”.
Caranya dengan berusaha “mengosongkan diri” atau “membersihkan diri”
dengan “menghilangan muatan-muatan yang membebani Atman” yang berupa
berbagai nafsu dan keinginan. Dengan kata lain berusaha
membangkitkan energi Atman agar tersambung dengan energi Brahman.
Dengan uraian di atas maka cara yang harus ditempuh adalah
melaksanakan “yoga samadi”, yang intinya adalah menghentikan segala
aktifitas pikiran beserta semua nafsu dan keinginan yang
membebaninya. Sebab pikiran yang selalu bekerja tak akan pernah
menjadikan diri “kosong”. Karena itu salah satu caranya adalah
dengan “Amati Karya”, menghentikan segala aktifitas kerja.
Apabila “kekosongan” merupakan hakekat Tuhan, apakah Padmasana, yang
di bagian atasnya berbentuk “kursi kosong”, dan dianggap sebagai
simbol singgasana “Sang Maha Kosong” itu adalah perwujudan dalam
bentuk lain dari apa yang dicari orang Jawa lewat kidung-kidung kuna
itu? Apa sebabnya di Jawa tidak ada dan baru diwujudkan dalam bentuk
bangunan ketika leluhur Jawa berada di Bali? Mungkin saat itu di
Jawa memang tidak membutuhkan hal itu, karena masyarakat Jawa lebih
mementingkan “pemujaan leluhur”, yang dianggap
sebagai “pengejawantahan Tuhan”. Kata-kata Wong tuwa iku Pangeran
katon atau Orang tua (leluhur) itu Tuhan yang nampak, adalah bukti
adanya kepercayaan tersebut. Itulah sebabnya di Jawa tidak ditemukan
Padmasana, tetapi “lingga yoni”. Baru setelah runtuhnya kerajaan
Majapahit, Padmasama mulai ada di Bali. Konon sementara sejarawan
berpendapat bahwa Padmasana adalah karya monumental Danghyang
Dwijendra, seorang Pandita Hindu yang pindah dari Jawa ke Bali,
setelah jatuhnya Kerajaan Majapahit.

Sebenarnya tujuan umat Hindu ketika bersembahyang di pura, adalah
untuk menjalani “proses” penyatuan diri dengan Tuhan dengan
melaksanakan “yoga” secara sederhana. Karena itu setiap sembahyang
tentu diawali dengan “pranayama” yang merupakan salah satu cara
untuk “mengosongkan diri” dengan “mengatur irama pernafasan” Hasil
minimal yang dicapai adalah “mempertenang diri” ketika “memuja
Tuhan” dengan bersimpuh di hadapan Padmasana, yang diyakini sebagai
tahta “Sang Hyang Widhi“. Ketika memuja itulah mereka
berusaha “mengosongkan diri” dengan berkonsentrasi untuk menyatukan
diri dengan “Sang Maha Kosong”. Dengan demikian mereka berharap
dapat menyatu dalam rasa, yaitu rasa damai sebenarnya. Menurut orang
Jawa, apabila tujuan “samadi” itu berhasil, terdapat tanda-tanda
khusus. Konon, ketika puncak ke “hening” an tercapai, orang serasa
terjun ke suasana “heneng” atau “sunya”, tenggelam dalam
suasana “kedamaian batin sejati, rasa damai yang akut”, yang
dikatakan “manjing jroning sepi”, atau “rasa damai yang tak
terkatakan”. Suasana demikian terjadi hanya sesaat, yang oleh orang
Jawa digambarkan secara indah dengan kata-kata “tarlen saking liyep
layaping aluyup, pindha pesating supena sumusup ing rasa jati”
(ketika tiba di ambang batas kesadaran, hanya seperti kilasan mimpi,
kita seolah menyelinap ke dalam rasa sejati). Di sini makna
kedamaian adalah “kekosongan sejati di mana jiwa terbebas dari beban
apa pun”, yang diistilahkan dengan suasana “hening heneng”
atau “kedamaian sejati“. Mungkin suasana demikian itulah yang dalam
agama Hindu disebut “sukha tan pawali dukha”. Kebahagian abadi yang
tanpa sedikitpun rasa duka. Terbebas dari hukum rwa bhinneda.

Kini masalahnya adalah siapa saja yang terlibat dalam proses
penyatuan tersebut? Pertanyaan ini akan dijawab dengan tegas bahwa
Sang Atmanlah diminta membimbingnya. Atman adalah cahaya Brahman, Ia
Maha Energi yang ada pada diri setiap manusia, karena itu oleh orang
Jawa diberi sebutan “Pangeraningsun” atau “Tuhan yang ada dalam
diriku”. Karena itulah ketika kita mengawali proses “kramaning
sembah” dengan pertama-tama menyebut “OM Atma Tattvatma”, orang Jawa
menganggapnya sebagai ganti dari kata-kata “Duh Pangeraningsun”,
yang sebelumnya amat dikenal. Namun sebelum Atman kita jadikan kawan
utama dalam usaha penyatuan itu, terlebih dulu kita harus yakin
bahwa ia adalah energi luar biasa. Kehebatan energi Atman itu secara
simbolis digambarkan sebagai berikut: Gedhene amung sak mrica
binubut nanging lamun ginelar angebegi jagad, artinya: Ia hanya
sebesar serbuk merica, namun bila dikembangkan (triwikrama) seluruh
jagad raya akan tergenggam olehnya. Pengertian energi ini dalam
istilah Jawa disebut “geter”. Namun untuk memanfaatkannya orang
harus mengenalnya lebih jauh.

Lebih lanjut ajaran ini menyebutkan bahwa pada diri manusia pun
terdapat 4 (empat) kekuatan yang selalu menjadi kawan dalam
perjalanan hidup, di saat suka maupun duka, hingga layak
disebut “saudara”. Masing-masing ditandai dengan simbol warna putih,
merah, kuning dan hitam (catur sanak). Posisi mereka di dalam jiwa
manusia adalah lekat dengan Atman, membuat cahayanya membentuk
warna “pelangi”. Gradasi warnanya menunjukkan kadar “karma wasana”
seseorang. Konon peranan mereka amat menentukan. Karena itu mereka
harus selalu diperhatikan dan dipelihara, sebab bila ditinggalkan
dan tak terurus, akan menjadi pengganggu yang amat berbahaya.
Bandingkan dengan pengertian sa ba ta a i dalam ajaran Hindu. Dalam
setiap “proses” meditasi mereka perlu diberitahu, setidak-tidaknya
disebut namanya agar ikut membantu.

Pada dasarnya proses penyatuan (meditasi) itu dimaksudkan sebagai
usaha memperpendek jarak antara Manusia dengan Tuhan, antara Sira
dengan Ingsun, atau antara Brahman dengan Atman, yang dalam istilah
Jawa disebut ngudi cinaket ing Widhi, artinya berusaha agar semakin
dekat dengan Tuhan (caket=dekat). Di sini jelas bahwa pemanfaatan
energi Atman mutlak perlu, tetapi ternyata sebagian orang ada yang
tidak mengetahui bahwa pada diri kita ada Atman, Sang Maha Energi
itu. Mungkin karena dasar filsafatnya memang berbeda. Kepada mereka,
yang tidak mempercayai adanya Atman itu, sebuah kidung sengaja
diciptakan Apek banyu pikulane warih, apek geni dedamaran, kodhok
ngemuli elenge, tanpa suku lumaku, tanpa una lan tanpa uni, dst.
Artinya terlihat ada orang mencari air, padahal ia telah memakai air
sebagai pikulan, dan ada yang mencari api, padahal telah membawa
lentera, katak menyelimuti liangnya, tanpa kaki ia berjalan, tanpa
rasa dan tanpa suara, dst. Rupanya mereka tidak mengerti bahwa Gusti
dan Kawula Tunggal, hingga tidak menyadari bahwa yang dicari
sebenarnya telah ada dalam dirinya sendiri, meski dengan nama yang
berbeda. Mereka tidak tahu bahwa warih adalah air dan damar adalah
api, sama halnya dengan Atman adalah Brahman. Ia immanen sekaligus
transenden, ia bisa berjalan tanpa kaki, dan tanpa suara maupun
rasa. Pendapat bahwa Brahman sama dengan Atman, oleh orang Jawa
ditunjukkan dengan perkataan “kana kene padha bae” artinya “sana dan
sini sama saja”. Ketidaktahuanlah yang menyebabkan orang
kebingungan. Sebuah canda sederhana namun menyengat.

Semua hal yang diterangkan di atas adalah ajaran Hindu. Namun bagi
mereka, yang tidak mau berusaha mencari “akarnya” dan tidak mau
belajar Hinduisme, menganggapnya sebagai “agama Jawa“. Dan
karena “agama Jawa” tidak ada, maka mereka menempatkannya sebatas
faham, yaitu faham “kejawen” dan eksis sebagai aliran kepercayaan.

Komentar :

ada 0 komentar ke “Hakekat Tuhan Menurut Orang Jawa”

Posting Komentar

LinkWithin

blogger counters
Video TV Online Mivo

rdio

Live Musik Radio suara-pasuruan.blogspot.com

dudul_lu

ACHMAD KHOIRON ROFIQ

Labels

Sample Links

Recent Posts

Share Science and Knowledge in Virtual World

TABDIV

Random


ShoutMix chat widget

Sample Links

BANNER

 

Blog links

Followers

This Blog is proudly powered by Blogger.com | Template by Angga Leo Putra